Alamat Kami /Our Office :
Jl. Racing Center, Komp. Mutiara Indah Blok A/6.A
Makassar, Indonesia 90234
Phone : 0411.420359

email : booksforwomen@gmail.com

Rabu, 29 Desember 2010

Kisah Muliati dan Yanti, Perempuan yang Berjualan di Pulau

Oleh : Eka Wulandari
Muliati – pedagang eceran di Pulau Baranglompo.
Foto: Ivan Firdaus.

Kisah dua perempuan pulau dengan peran ganda: sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah bagi keluarga. Citizen reporter Eka Wulandari melaporkan geliat kehidupan perempuan pulau, yang meski sibuk, tidak melupakan kegiatan rutin ibu-ibu: arisan.(p!)

Banyak perempuan di Pulau Baranglompo – sekitar 13 kilometer sebelah Barat Kota Makassar -- yang dipaksa keadaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang tidak sepenuhnya tertutupi oleh hasil usaha sang suami. Kisah Bibi Nio yang pertama kali mengenalkan bentor di pulau itu, hanya salah satu contoh.

Kisah kali ini tentang Muliati, seorang “wanita karir” yang lain di pulau itu. Dengan bermodalkan gerobak dorong dengan barang jualan yang dimodali oleh seorang ibu bernama Hj. Tallasa, ia pun berkeliling pulau. Sudah lima tahun ia menjalani usahanya.

Setelah selesai shalat dhuhur ia akan bergegas ke pelataran mesjid Al Ihsan. Di sana ia memulai berjualan setiap harinya. Mengapa Masjid? Sebab di siang hari, di masjid itu ada kurang lebih 200 anak yang mengikuti kelas Taman Pengajian Alquran.

Mama Muli, begitu id disapa oleh anak-anak itu, merasa beruntung bahwa Hj. Tallasa mau membantunya. Ia diberikan modal awal Rp500 ribu. Setiap hari ibu tiga anak ini harus menyetor Rp20.000 sampai 40 hari. Meskipun sangat jauh perbedaan keuntungannya, ia tak mempersoalkannya. Ia tak punya pilihan lain. Melalui Hj. Tallasa pula ia diberi keringanan tidak menyetor dalam sehari jika ia tak mampu, walaupun keesokan harinya ia menyetor bayaran dua hari.

Ada bantuan pemerintah untuk hal permodalan seperti itu. Namun Muli merasa kurang puas sebab jika menginginkan bantuan modal ia harus menggunakan jasa pengurus. Jumlah yang diminta Rp500 ribu namun yang sampai di tangannya hanyalah separuh. Sisanya masuk kantong si pengurus tadi.

Berbeda dengan wanita karir yang ada di kota-kota besar, Muli tak membutuhkan make up untuk memulai harinya. Potongan rambutnya yang pendek, celana pendek dan baju lengan pendek cukup baginya. Toh tak ada lagi kesempatan berganti pakaian setelah melakukan tugasnya di rumah dari pagi hingga sebelum dhuhur.

Pagi-pagi ia mengurus segala kebutuhan suami dan anak-anaknya sebelum mereka melakukan rutinitas masing-masing. Suaminya, Ilyas, bekerja sebagai anak buah kapal. Anak pertamanya Sainal, setamat SD, memilih ikut bekerja dengan bapaknya menjadi ABK cilik di kapal pengangkut penumpang dari Makassar ke Baranglompo. Kapal itu bernama Novita Sari. Meskipun usia Sainal masih tiga belas tahun, namun ia sudah mampu mengemudi kapal.

“Biasa tong ada orang yang tegurka, bilang kupekerjakan anak di bawah umur. Tapi yang mana kita pilih, daripada kubiarkan itu anak jadi pengangguran karena tidak mau tonji sekolah,” kata Haji Dahrin, pemilik kapal Novita Sari.

Sedangkan dua anak Muli, Saipul dan Saida kini duduk di bangku kelas yang sama, kelas lima.

“Itu anakku tidak ada yang tidak rangking,” ungkapnya sembari mengusap kepala Saipul yang baru saja tiba dari menjual air.

Penghasilan tambahan lain keluarga Muli adalah menjual air bersih. Sebagai pemilik kapal, Haji Dahrin merasa bartenggung jawab atas kesejahteraan anak buahnya. Ia memberikan jerigen sebanyak 10 buah pada keluarga Muli. Jerigen-jeringen itu untuk diisi air bersih dari Makassar dan dijual di Baranglompo. Sepulang sekolah Saipul berkeliling pulau menawarkan air itu, Rp2.000 per jerigen, seberat 35kg.

Haji Dahrin tak bisa menjamin cukup atau tidaknya gaji yang ia berikan pada Ilyas dan anaknya perbulan. “Bawa kapal beginian pasang surut istilahnya, karena pendapatan tidak menentu,” jelas Haji Dahrin. “Makanya kukasih jerigen, dan kugratiskan untuk biaya angkutannya dari Makassar ke pulau,” lanjutnya.

Sebelum menjadi pedagang keliling, Muli mencukupi kebutuhan keluarganya sebagai tukang cuci. Biasanya ia diupah Rp3000-Rp5000. Namun seiring berjalannya waktu kebutuhan keluarganya semakin bertambah. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan usahanya kini. Walaupun kadang-kadang ia masih biasa membantu mencucikan pakaian tetangganya.

“Sejak gadis kusuka mentong bantu-bantu orang, yang penting kan dapat uang halal,” tuturnya.

Jika tak banyak pekerjaan di rumah, Muli akan pergi mencuci pakaian orang yang meminta tolong padanya. Selanjutnya ia mulai mendorong gerobak dagangannya paling cepat pukul 12 siang. Lalu kembali ke rumah setelah magrib. Tentunya setelah ia mengelilingi pulau yang dihuni oleh kurang lebih 968 kepala keluarga itu.

Dagangan Muli bisa dikatakan serba ada. Roti, wafer, permen, krupuk, dan minuman dingin. Juga ada buah-buahan, salak, jambu merah, jambu putih, jeruk, mangga, apel, kedondong, mentimun, dan buah khas Makassar rappoliukang. Bahkan ia juga menjual telur rebus.

Setiap hari minggu Muli menyebrang ke Makassar untuk membeli barang dagangan tersebut. Kecuali buah apel dan mangga yang ia peroleh dari teman kecilnya yang bekerja sebagai pelayan toko buah yang ada di Jalan Sulawesi, Makassar. Ia dipercaya menjual kedua jenis buah itu,dengan system konsinyasi. Begitu pula dengan minuman dingin, adalah titipan tetangga Muli. Jika minuman laku misalnya Rp10.000 maka ia kan diberi imbalan Rp1000.

Tak jauh dari tempat Muli menjajakan barang dagangannya pada anak-anak pengajian, Yanti berdiri dengan gerobak sepeda, juga sedang menjajakan dagangan.

Bedanya jika Muli berada di dalam pekarangan masjid, Yanti memilih di luar pagar yang tidak terlalu tinggi, sehingga meskipun dari dalam pekarangan, pembeli tetap bisa menjangkaunya.

Yanti – sibuk menjajakan barang dagangannya.
Foto: Ivan Firdaus.

Yanti mengaku sudah sepuluh tahun menyambung hidup di pulau ini. Yanti sendiri lahir di Jawa. Pantas saja anak-anak memanggilnya dengan sebutan Mbak. Walaupun selintas ia sudah seperti penduduk asli Baranglompo. Bahasa yang ia gunakan tak seperti orang Jawa pada umumnya yang medhok. Yanti malah berlogat Makassar.

Di Baranglompo ia sudah beberapa kali berganti dagangan. Mulai dari bakso, batagor, sate, lalu kini ia menjual pentolan. Pentolan yang dimaksud adalah bakso atau nyoknyang dibalut dengan gorengan telur campur daun bawang dan daun seledri. Namun agak berbeda dengan pentolan yang dijajakan pada umumnya, Yanti memilih bakso tahu sebagai isi balutan telur goreng itu. Tak bisa dipungkiri naiknya harga barang yang membuatnya demikian. Lumayan, ia bisa meraup untung rata-rata Rp20.000 perhari. Sebagai tambahan untuk pendapatan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan.

Untuk bahan baku, Yanti tidak perlu repot menyebrang ke Makassar. Setiap hari ia bisa menitip barang belanjaan pada seorang yang bernama Daeng Nasir.

Yanti menceritakan kisah hidupnya di pulau itu. Awalnya kakak ipar Yanti yang berdagang di sana, namun merasa sudah lama meninggalkan kampung halaman, ia pun kembali dan menyarankan agar Yanti bersama kedua saudaranya ke sana. Di Baranglompo pula Yanti bertemu jodohnya, Musa, yang juga seorang perantau dari Kendari, Sulawesi Tenggara.

Walaupun sudah bertahun-tahun tercatat sebagai warga pulau, Yanti dan kedua saudarnya beserta keluarga masing-masing masih mengontrak rumah.

Yanti kini telah memiliki tiga orang anak. Yang sulung dan anak keduanya sudah duduk di bangku kelas dua. Usianya tidak beda jauh. Sedangkan anak bungsunya masih bayi.

Baik Muliati maupun Yanti, seperti perempuan lainnya di pulau itu, juga tidak lupa pada kegiatan arisan bulanan. Kegiatan ini selalu ramai oleh ibu-ibu se-kelurahan. Tiap hari minggu awal bulan acara ini diadakan di kantor lurah. Ini menjadi ajang bersilaturahminya para ibu-ibu pulau. Arisan itu sebenarnya bukan per-kelurahan, melainkan per-RT. Namun diadakan secara bersamaan di kantor lurah, selanjutnya diundi per-RT.

“Bisa kita bayangkan kantor lurah yang tidak seberapa besarnya itu dibanjiri kurang lebih dua ratus ibu-ibu,” kata Ridwan, kepala asrama Universitas Hasanuddin di Baranglompo yang letak rumahnya berada di depan kantor lurah.(p!)

*Citizen reporter Eka Wulandari dapat dihubungi melalui email nipponggirl@gmail.com
sumber : http://panyingkul.com/view.php?id=989

Ikan, Arang, Batu, Gula Merah Dari Tangan Perempuan Perkasa

oleh : Erni Aladjai

Fati, pedagang ikan k eliling memulai kesibukan pukul 4 subuh.
Foto : Zabur Karuru.

Di Kabupaten Bone, Sulsel, citizen reporter Erni Aladjai mengunjungi empat tempat dengan satu benang merah cerita dalam perjalanannya: peran ganda yang dilakoni perempuan-perempuan desa, yang membuat mereka tertempa alam menjadi perkasa. Kondisi serupa lazim dialami perempuan di banyak tempat, tapi kali ini dihadirkan dalam potret yang lebih personal, gambaran khas perempuan Bugis dengan dua sisi, lembut sekaligus tangguh. (p!)

Saya menempuh perjalanan sejauh 180 km dari Makassar menuju kota yang didirikan pada tahun 1330 oleh ManurungE Ritamajang – Kota Bone. Perjalanan saya dimulai pada jam 12 siang di terminal Daya Makassar dengan menumpang mobil rental. Sopirnya memuat penumpang melebihi kapasitas. Maka terpaksa kami berhimpit-himpitan di dalam mobil. Berbagai bau menemani perjalanan.Bau balsem, bau muntah bercampur bau badan.

Jalanan yang saya lalui berkelok-kelok, hamparan bebukitan, hutan dan sawah membuat mata saya tak mengantuk. Setelah terhimpit kurang lebih lima jam, tibalah saya di kota Bone.

Cerita Perempuan dari Pelabuhan Bajoe
Pagi pertama di kota itu, seorang kawan yang baru saya kenal ketika tiba di Bone, mengantar saya ke pelabuhan Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur. Semburat jingga matahari terbit membias di atas laut pelabuhan itu,. Sekawanan burung camar mengitari kapal-kapal kayu nelayan yang berjejer di bibir pelabuhan.

Pagi yang ribut dengan teriakan para pembeli, penadah, dan anak-anak yang menawarkan jasa untuk membersihkan kapal-kapal kayu para nelayan. Ada yang menarik dari pemandangan ramai itu, di sana berpuluh-puluh perempuan setengah baya menjinjing loyang dan bakul anyaman untuk membeli ikan dari para nelayan yang baru pulang.

Para perempuan itu sudah ada di sana sejak jam lima subuh,. Mereka membeli ikan untuk dijual keliling dari kompleks ke kompleks. Salah satunya bernama Ondeng (56 tahun). Ia berangkat dari rumahnya di Jalan Pramuka pada jam empat subuh. Di Pelabuhan Bajoe, ia tak sekadar menadah ikan untuk dijual keliling melainkan ia juga menjual kantong kresek pada pembeli ikan yang datang ke pelabuhan itu. Sebelum ke pelabuhan, Ondeng berjibaku terlebih dahulu dengan pekerjaan rumah tangga. Ia memasak dan membersihkan rumah.

Begitu pula dengan Fati (58). Ibu ini bangun pada jam empat subuh. Sembahyang, memasak dan menyiapkan bekal untuk suaminya yang berangkat ke sawah. Setelah itu, ia berangkat ke Pelabuhan Bajoe dengan menumpang ojek, yang jaraknya setengah jam perjalanan dari rumahnya. Pagi itu itu Fati membeli ikan pada pabagang – begitu istilah lokal untuk nelayan yang menggunakan kapal kayu. Dengan modal 100 ribu, Fati mendapatkan dua keranjang ikan. Setelah itu, Fati tak langsung berkeliling menjual ikannya, melainkan ia mengeluarkan semua ikan yang ada dalam keranjang, selanjutnya adalah proses memilah-milah.

Kalau beruntung di dalam keranjang ikan itu terselip cumi-cumi. Seperti pagi itu, Fati mendapatkan ‘bonus’ satu kantong cumi-cumi pulpen, cumi-cumi ia ia jual seharga Rp20.000 per kantongnya dan ikan teri per genggamnya ia jual seharga Rp3.000. Selebihnya hanya beberapa ekor ikan karang yang ia bawa pulang untuk lauk makan siang di rumahnya. Ikan-kan yang telah ia pilah berdasarkan jenisnya ini akan dijualnya dari kompleks-ke kompleks dengan jalan kaki.

“Pekerjaan menjadi penjual ikan keliling, adalah pekerjaan yang menyenangkan, dari sini saya bisa membantu pendapatan suami,” ujar Fati.
Sudah lima tahun Fati melakoni pekerjaan menjual ikan keliling. Keuntungan yang ia peroleh per hari tak menentu, kadang Rp30.000 terkadang pula Rp20.000 Fati dan Ondeng melakoni pekerjaan menjual ikan keliling dengan maksud untuk membantu pendapatan suami.

Cerita Perempuan dari Palette
Di hari berikutnya, pada waktu yang lain, saya mengunjungi kelurahan Palette. Perjalanan kali ini pun ditemani kawan yang sama. Bagi orang Bone, Palette bukan hanya daerah wisata melainkan cerita masa lalu. Sekitar tahun 1960-an, laut di sekitar Tanjung Palette merupakan tempat eksekusi bagi warga yang dinyatakan melangggar hukum agama dan adat, seperti perzinahan. Warga yang dianggap melanggar tersebut dimasukkan ke dalam karung bersama batu besar lalu ditenggelamkan ke dasar laut.

Dari tahun 1960-an hingga 1970-an, Palette menyimpan kekuatan sendiri yang membuat orang Bone merasa ngeri dan takut untuk berbuat maksiat. Seiring berlalunya waktu, adat tersebut semakin lampus. Cerita esksekusi Tanjung Palette kini hanya mitos.

Di Palette saya menemukan pemandangan aneh dari rumah-rumah kayu yang berjejer, di sana di belakang rumah-rumah tersebut para perempuan usia 60 hingga 70 tahun sedang membuat arang.

Menurut Amrullah (39 tahun) – Kepala Kelurahan Pellette, pekerjaan marusing (membuat arang) hanya dilakukan perempuan-perempuan tua. Saya kagum, di usia senja itu, para perempuan Palette masih produktif. “Di desa ini hanya perempuan berusia 60 hingga 70 tahun ke atas yang membuat arang, itulah sisi menariknya Palette!” Ujar lurah muda itu pada saya.

Saya memulai perkenalan dengan Tija (69 tahun). Sore itu, Tija sedang membakar ampas padi yang dimasukkan dalam lubang sedalam satu meter, di dalam lubang itu juga dimasukkan potongan-potongan kayu, lalu diatas lubang tersebut dihamburkan ampas padi, kemudian lubang ditutup kembali dengan tanah. Di atas tanah itu, kayu bakar dinyalakan pelan. Ini seperti cara memasak bakar batu di Papua.

Setiap pekan ada yang datang dari kota Bone untuk membeli arang-arang buatan perempuan senja di Palette. Harga per karung Rp25.000. Menurut Tija, ia memakai arang untuk kompor tanah liatnya, lantaran arang tak membuat pancinya hitam, ia juga mengatakan kalau pakai arang lebih hemat dibading dengan kompor minyak tanah atau gas. Untuk warga desa seperti Tija, mereka hanya mencari alternatif bahan bakar yang hemat, tetapi saya berpikir jika terus-terusan begitu, maka hutan akan mudah gundul karena pohon-pohon kayu ditebang untuk membuat arang.

Cerita Seha, Perempuan Pemecah Batu
Senja hampir turun di kaki langit, saya bersama beberapa kawan bermaksud kembali ke kota, di perjalanan pulang itu saya bertemu dengan Seha (35 tahun).

Rambutnya kaku, berwarna kemerahan, wajahnya dipenuhi bedak tepung beras, kuku kaki dan tangannya hitam. Ia adalah satu-satunya perempuan pemecah batu di kelurahan Palette. Sudah 10 tahun ia melakoni pekerjaan tersebut. Semenjak suaminya meninggal 10 tahun lalu, semenjak itu pula ia akrab dengan batu-batu di Bola Batue – Kelurahan Palette. Dalam sepuluh hari memecahkan batu, Seha menghasilkan 3 kubik batu yang dijual seharga 230 ribu. Seha memecahkan batu dari jam delapan pagi sampai jam lima sore.

Pekerjaan ekstrim itu, ia lakukan demi memberi makan dan menyekolahkan tiga anaknya. Tak jarang ia kena percikan api saat menghujamkan martil di gundukan batu. “Tak ada pilihan pekerjaan lain bagi perempuan seperti saya di desa ini, anak-anak saya tak akan makan, jika saya tidak bekerja keras!” Ungkap Seha sembari memainkan ujung kain yang diselempangkan dibahunya. Ketika saya hendak pamit, saya meminta izin untuk memotret Seha, tetapi perempuan itu bersikeras tak mau difoto.

Ketika Seha hendak pulang ke rumah, saya memandangi punggungnya hingga ia hilang di tikungan jalan. Mata saya berkaca-kaca, betapa keras hidup perempuan itu.

Jawariah memastikan kekentalan air nila sebelum dicetak..
Foto : Zabur Karuru.

Cerita Perempuan dari Ponre
Lusanya, saya melakukan perjalanan ke Desa Pattimpa – Kecamatan Ponre. Kecamatan ini terdiri dari sembilan desa, di kecamatan ini tak ada listrik. Hanya rumah kepala desa yang memiliki penerang dari mesin generator. Di sini saya berkenalan dengan Jawariah (40 tahun). Perempuan ini sudah menjadi pembuat gula merah selama sepuluh tahun. Ketika saya menemuinya ia sedang memasak air nira. Air nira itu diambil oleh suaminya dari hutan. Supaya air nira tersebut mengental dengan bagus, Jawariah mencampurnya dengan kemiri.

Ketika saya menyaksikan proses memasak air nira itu, saya rasa ini adalah proses memasak paling sulit, karena tangan Jawariah terus mengaduk air nira dalam wajan besar dengan panas api yang membara, wangi khas aren tercium dari sana. Hampir lima jam Jawariah menghabiskan waktu untuk memasak air nira itu. Ketika air nira akan matang, Jawariah menandainya dengan menciduknya lalu dimasukkan dalam baskom berisi air, jika dalam baskom air nira itu membeku, maka itu tandanya air nira sudah siap dimasukkan dalam cimblo atau cetakan.

Sebelum dicetak, ia memberi saya sepiring busa air nira itu. Di daerah itu orang-orang menyebutnya soddi. Saya menikmati Soddi. Rasanya seperti permen karamel.

Dalam satu hari, Jawariah menghasilkan 13 biji gula merah, harganya Rp3.000 per biji. Jadi dalam sehari pendapatan Jawariah adalah Rp39.000. Sungguh angka yang sedikit jika dibandingkan dengan beratnya pekerjaan itu.

Ketika meninggalkan rumah Jawariah, saya berjanji dalam hati untuk tak pernah lagi menawar harga gula merah di pasar. (p!)

*Citizen reporter Erni Aladjai dapat dihubungi melalui email erni_aladjai@yahoo.com
sumber : http://panyingkul.com/view.php?id=1152

Sabtu, 25 Desember 2010

Perempuan Pesisir Kolo Bawah

Perempuan pesisir, di banyak lokasi di bumi nusantara ini masih betul-betul terpinggirkan. Terpinggirkan karena mereka menetap dan menyambung hidup di wilayah pesisir, dan terpinggirkan karena mereka adalah perempuan. Perempuan yang sehari-hari bekerja mengurus rumah, melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Perempuan yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga di sela-sela kesibukannya, sebagai nelayan pencari hasil laut, pengolah pasca tangkap dan penjaja hasil tangkapan ikan suami. Serta perempuan yang keluar-masuk hutan mencari rotan, sagu dan kayu bakar. Mereka adalah perempuan Kolo Bawah, perempuan desa yang dominan dihuni oleh suku Bajo (Sama) di pesisir pantai Teluk Tolo, Kabupaten Morowali.
Perempuan Kolo Bawah, adalah perempuan yang cepat menikah sesaat setelah masa akil baliq, perempuan dengan kulit legam disengat cahaya mentari, perempuan yang kentara urat dan lengannya karena bekerja keras saat masa paruh baya. Perempuan Bajo desa Kolo Bawah, adalah perempuan yang relatif cantik seperti kebanyakan perempuan di manapun, yang cepat pudar kecantikannya oleh guratan waktu, sapuan air garam dan angin laut, serta tarikan otot mengayuh lengan-lengan dengan punggung berpeluh.
Anak-anak yang lahir dari rahim-rahim mereka, tumbuh sehat dengan jumlah yang meningkat pesat sepanjang tahun. Yang keluarga mereka pahami, anak-anak adalah anugerah dan rejeki. Pendidikan dan kesehatan anak adalah urusan Tuhan dan “nanti.” Setelah anak-anak mereka beranjak dewasa, maka perkawinan dan laut adalah masa depan yang paling menjanjikan. Tanpa sadar akan kualitas lingkungan laut yang kian merosot dari waktu ke waktu, dirusak oleh pendatang dari luar serta oleh tangan-tangan mereka sendiri yang semakin banyak, semakin lapar.
“ Penduduk desa ini berjumlah sekitar 300 Kepala Keluarga, hampir 200 KK adalah tergolong miskin dengan penghasilan rendah. Mungkin hampir 100 orang perempuan desa ini berstatus janda, tua dan muda. Yang muda ditinggal oleh suami yang pergi merantau untuk mencari kerja dan tak pernah kembali lagi atau bercerai. Perempuan tua di tinggal mati oleh suami yang entah mengapa rata-rata lebih dulu mati, ” terang Pak Ade, sekertaris desa Kolo Bawah.
Di saat peralihan musim Timur ke musim Barat, hingga sepanjang musim Barat tiba, ombak dan angin di pesisir desa ini relatif tenang dan bersahabat. Para ibu dengan berkelompok-kelompok pergi mencari ikan, gurita dan kerang-kerangan. Mereka mendayung sampan, menggunakan layar, memancing dan menyelam seperti layaknya para lelaki desa itu. Kawasan terumbu karang pesisir dan taka serta gosong karang menjadi lokasi penangkapan para perempuan desa ini. Mereka keluar di saat subuh, dan pulang ke rumah di siang atau sore hari. Para lelaki dan anak-anak juga turut beserta mereka, menjadi keluarga nelayan “tulen.” Anak-anak balita mereka di tinggal di rumah bersama para orang tua dan keluarga lainnya. Sedangkan para pemuda desa itu kini lebih banyak memilih menjadi tukang batu, tukang ojek, tukang kayu, merantau mencari kerja ke daerah lain, atau lebih banyak menganggur.
Di sela-sela waktu mencari hasil laut, perempuan desa ini mencari dan mengolah sagu untuk di jadikan Sinole (serbuk sagu kering) sebagai makanan pokok diselingi Kalaka (singkong kering) yang di kukus, dengan makan nasi sebagai selingan. Dengan berkelompok-kelompok, mereka merambah bukit-bukit dan hutan di sekitar desa untuk mencari rotan dan kayu bakar. Akar-akar rotan mereka gunakan untuk membuat keranjang dan alat pengikat. Para perempuan dan hampir seluruh penduduk desa ini sadar bahwa menjaga hutan sekitar desa dapat menjaga kampung pesisir ini dari bencana banjir dan tanah longsor. Dari pengalaman desa tetangga yang tertimbun tanah longsor tahun lalu, serta bencana yang sama menimpa desa Bunta di bulan Oktober lalu akibat hutan mereka yang telah di “sulap” menjadi kebun Kelapa Sawit.
Meski secara sepihak terlihat kehidupan mereka begitu keras, tetapi para ibu desa ini bersyukur karena mereka masih dimanjakan oleh alam, beberapa jenis kebutuhan untuk hidup masih tersedia meski harus peras keringat menegangkan otot. Kinipun desa ini telah punya sebuah Sekolah Dasar dan sebuah SLTP, hingga anak-anak mereka, perempuan dan laki-laki dapat bersekolah di dalam desa sendiri. Meski untuk melanjutkan sekolah bagi anak-anak mereka ke tingkat SLTA, masih harus berfikir berkali-kali dikarenakan biaya serta tuntutan membantu keluarga untuk mencari nafkah. (Ivan Firdaus, kompasiana.com)

Senin, 20 Desember 2010

Tentang Books for Woman


Summary Program
Books for Women (Buku untuk Perempuan), adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk menyebarkan dan meningkatkan kepedulian terhadap perempuan di wilayah-wilayah terpinggirkan (marjinal), di desa-desa dan di kota; di pelosok hutan, pulau-pulau kecil, pemukiman kumuh perkotaan hingga di dalam penjara.  Perempuan (anak hingga dewasa) yang “ terpinggirkan ” oleh ; jarak, akses informasi serta pengetahuan, kebijakan yang tidak memihak, belengu kemiskinan, dominansi media elektronik mainstream yang berkualitas rendah, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Kepedulian ini dinyatakan dalam bentuk penguatan jaringan informasi, komunikasi dan koordinasi antar sesama individu atau kelompok yang peduli, perluasan cakupan wilayah fokus perhatian program, manajemen pengumpulan dan penyaluran bantuan buku kepada sasaran (kelompok perempuan, rumah baca, perpustakaan desa, sekolah lapangan, koperasi perempuan, kelompok PKK, dan lain-lain), serta pendampingan kelompok.
Dengan memanfaatkan media sosial terkini (internet ; facebook, Twitter, website, dan lain-lain) yang telah nyata mampu menyebarkan informasi dengan cepat kepada para penggunanya, diharapkan dapat menjadi media program yang efektif untuk menyebarkan informasi, menggalang kepedulian dan dukungan, penguatan jaringan, serta berbagi pengalaman.
Sebagai ukuran keberhasilan program ini adalah seberapa banyak individu /kelompok yang peduli dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman, menyalurkan bantuan buku, jumlah buku yang sampai kepada target program, serta jumlah perempuan yang membaca buku-buku bantuan tersebut.
Program ini bersifat sosial.  Digerakkan oleh para pekerja sosial yang peduli terhadap perempuan di wilayah marjinal di sekitar tempat tinggalnya.  Memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kepedulian dan penguatan jaringan.  Terbuka untuk di akses oleh semua pihak yang peduli, dengan memakai nama program ini ataupun tidak, dengan harapan utama adalah membuka akses informasi dan pengetahuan bagi perempuan yang selama ini terpinggirkan.