Alamat Kami /Our Office :
Jl. Racing Center, Komp. Mutiara Indah Blok A/6.A
Makassar, Indonesia 90234
Phone : 0411.420359

email : booksforwomen@gmail.com

Rabu, 29 Desember 2010

Ikan, Arang, Batu, Gula Merah Dari Tangan Perempuan Perkasa

oleh : Erni Aladjai

Fati, pedagang ikan k eliling memulai kesibukan pukul 4 subuh.
Foto : Zabur Karuru.

Di Kabupaten Bone, Sulsel, citizen reporter Erni Aladjai mengunjungi empat tempat dengan satu benang merah cerita dalam perjalanannya: peran ganda yang dilakoni perempuan-perempuan desa, yang membuat mereka tertempa alam menjadi perkasa. Kondisi serupa lazim dialami perempuan di banyak tempat, tapi kali ini dihadirkan dalam potret yang lebih personal, gambaran khas perempuan Bugis dengan dua sisi, lembut sekaligus tangguh. (p!)

Saya menempuh perjalanan sejauh 180 km dari Makassar menuju kota yang didirikan pada tahun 1330 oleh ManurungE Ritamajang – Kota Bone. Perjalanan saya dimulai pada jam 12 siang di terminal Daya Makassar dengan menumpang mobil rental. Sopirnya memuat penumpang melebihi kapasitas. Maka terpaksa kami berhimpit-himpitan di dalam mobil. Berbagai bau menemani perjalanan.Bau balsem, bau muntah bercampur bau badan.

Jalanan yang saya lalui berkelok-kelok, hamparan bebukitan, hutan dan sawah membuat mata saya tak mengantuk. Setelah terhimpit kurang lebih lima jam, tibalah saya di kota Bone.

Cerita Perempuan dari Pelabuhan Bajoe
Pagi pertama di kota itu, seorang kawan yang baru saya kenal ketika tiba di Bone, mengantar saya ke pelabuhan Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur. Semburat jingga matahari terbit membias di atas laut pelabuhan itu,. Sekawanan burung camar mengitari kapal-kapal kayu nelayan yang berjejer di bibir pelabuhan.

Pagi yang ribut dengan teriakan para pembeli, penadah, dan anak-anak yang menawarkan jasa untuk membersihkan kapal-kapal kayu para nelayan. Ada yang menarik dari pemandangan ramai itu, di sana berpuluh-puluh perempuan setengah baya menjinjing loyang dan bakul anyaman untuk membeli ikan dari para nelayan yang baru pulang.

Para perempuan itu sudah ada di sana sejak jam lima subuh,. Mereka membeli ikan untuk dijual keliling dari kompleks ke kompleks. Salah satunya bernama Ondeng (56 tahun). Ia berangkat dari rumahnya di Jalan Pramuka pada jam empat subuh. Di Pelabuhan Bajoe, ia tak sekadar menadah ikan untuk dijual keliling melainkan ia juga menjual kantong kresek pada pembeli ikan yang datang ke pelabuhan itu. Sebelum ke pelabuhan, Ondeng berjibaku terlebih dahulu dengan pekerjaan rumah tangga. Ia memasak dan membersihkan rumah.

Begitu pula dengan Fati (58). Ibu ini bangun pada jam empat subuh. Sembahyang, memasak dan menyiapkan bekal untuk suaminya yang berangkat ke sawah. Setelah itu, ia berangkat ke Pelabuhan Bajoe dengan menumpang ojek, yang jaraknya setengah jam perjalanan dari rumahnya. Pagi itu itu Fati membeli ikan pada pabagang – begitu istilah lokal untuk nelayan yang menggunakan kapal kayu. Dengan modal 100 ribu, Fati mendapatkan dua keranjang ikan. Setelah itu, Fati tak langsung berkeliling menjual ikannya, melainkan ia mengeluarkan semua ikan yang ada dalam keranjang, selanjutnya adalah proses memilah-milah.

Kalau beruntung di dalam keranjang ikan itu terselip cumi-cumi. Seperti pagi itu, Fati mendapatkan ‘bonus’ satu kantong cumi-cumi pulpen, cumi-cumi ia ia jual seharga Rp20.000 per kantongnya dan ikan teri per genggamnya ia jual seharga Rp3.000. Selebihnya hanya beberapa ekor ikan karang yang ia bawa pulang untuk lauk makan siang di rumahnya. Ikan-kan yang telah ia pilah berdasarkan jenisnya ini akan dijualnya dari kompleks-ke kompleks dengan jalan kaki.

“Pekerjaan menjadi penjual ikan keliling, adalah pekerjaan yang menyenangkan, dari sini saya bisa membantu pendapatan suami,” ujar Fati.
Sudah lima tahun Fati melakoni pekerjaan menjual ikan keliling. Keuntungan yang ia peroleh per hari tak menentu, kadang Rp30.000 terkadang pula Rp20.000 Fati dan Ondeng melakoni pekerjaan menjual ikan keliling dengan maksud untuk membantu pendapatan suami.

Cerita Perempuan dari Palette
Di hari berikutnya, pada waktu yang lain, saya mengunjungi kelurahan Palette. Perjalanan kali ini pun ditemani kawan yang sama. Bagi orang Bone, Palette bukan hanya daerah wisata melainkan cerita masa lalu. Sekitar tahun 1960-an, laut di sekitar Tanjung Palette merupakan tempat eksekusi bagi warga yang dinyatakan melangggar hukum agama dan adat, seperti perzinahan. Warga yang dianggap melanggar tersebut dimasukkan ke dalam karung bersama batu besar lalu ditenggelamkan ke dasar laut.

Dari tahun 1960-an hingga 1970-an, Palette menyimpan kekuatan sendiri yang membuat orang Bone merasa ngeri dan takut untuk berbuat maksiat. Seiring berlalunya waktu, adat tersebut semakin lampus. Cerita esksekusi Tanjung Palette kini hanya mitos.

Di Palette saya menemukan pemandangan aneh dari rumah-rumah kayu yang berjejer, di sana di belakang rumah-rumah tersebut para perempuan usia 60 hingga 70 tahun sedang membuat arang.

Menurut Amrullah (39 tahun) – Kepala Kelurahan Pellette, pekerjaan marusing (membuat arang) hanya dilakukan perempuan-perempuan tua. Saya kagum, di usia senja itu, para perempuan Palette masih produktif. “Di desa ini hanya perempuan berusia 60 hingga 70 tahun ke atas yang membuat arang, itulah sisi menariknya Palette!” Ujar lurah muda itu pada saya.

Saya memulai perkenalan dengan Tija (69 tahun). Sore itu, Tija sedang membakar ampas padi yang dimasukkan dalam lubang sedalam satu meter, di dalam lubang itu juga dimasukkan potongan-potongan kayu, lalu diatas lubang tersebut dihamburkan ampas padi, kemudian lubang ditutup kembali dengan tanah. Di atas tanah itu, kayu bakar dinyalakan pelan. Ini seperti cara memasak bakar batu di Papua.

Setiap pekan ada yang datang dari kota Bone untuk membeli arang-arang buatan perempuan senja di Palette. Harga per karung Rp25.000. Menurut Tija, ia memakai arang untuk kompor tanah liatnya, lantaran arang tak membuat pancinya hitam, ia juga mengatakan kalau pakai arang lebih hemat dibading dengan kompor minyak tanah atau gas. Untuk warga desa seperti Tija, mereka hanya mencari alternatif bahan bakar yang hemat, tetapi saya berpikir jika terus-terusan begitu, maka hutan akan mudah gundul karena pohon-pohon kayu ditebang untuk membuat arang.

Cerita Seha, Perempuan Pemecah Batu
Senja hampir turun di kaki langit, saya bersama beberapa kawan bermaksud kembali ke kota, di perjalanan pulang itu saya bertemu dengan Seha (35 tahun).

Rambutnya kaku, berwarna kemerahan, wajahnya dipenuhi bedak tepung beras, kuku kaki dan tangannya hitam. Ia adalah satu-satunya perempuan pemecah batu di kelurahan Palette. Sudah 10 tahun ia melakoni pekerjaan tersebut. Semenjak suaminya meninggal 10 tahun lalu, semenjak itu pula ia akrab dengan batu-batu di Bola Batue – Kelurahan Palette. Dalam sepuluh hari memecahkan batu, Seha menghasilkan 3 kubik batu yang dijual seharga 230 ribu. Seha memecahkan batu dari jam delapan pagi sampai jam lima sore.

Pekerjaan ekstrim itu, ia lakukan demi memberi makan dan menyekolahkan tiga anaknya. Tak jarang ia kena percikan api saat menghujamkan martil di gundukan batu. “Tak ada pilihan pekerjaan lain bagi perempuan seperti saya di desa ini, anak-anak saya tak akan makan, jika saya tidak bekerja keras!” Ungkap Seha sembari memainkan ujung kain yang diselempangkan dibahunya. Ketika saya hendak pamit, saya meminta izin untuk memotret Seha, tetapi perempuan itu bersikeras tak mau difoto.

Ketika Seha hendak pulang ke rumah, saya memandangi punggungnya hingga ia hilang di tikungan jalan. Mata saya berkaca-kaca, betapa keras hidup perempuan itu.

Jawariah memastikan kekentalan air nila sebelum dicetak..
Foto : Zabur Karuru.

Cerita Perempuan dari Ponre
Lusanya, saya melakukan perjalanan ke Desa Pattimpa – Kecamatan Ponre. Kecamatan ini terdiri dari sembilan desa, di kecamatan ini tak ada listrik. Hanya rumah kepala desa yang memiliki penerang dari mesin generator. Di sini saya berkenalan dengan Jawariah (40 tahun). Perempuan ini sudah menjadi pembuat gula merah selama sepuluh tahun. Ketika saya menemuinya ia sedang memasak air nira. Air nira itu diambil oleh suaminya dari hutan. Supaya air nira tersebut mengental dengan bagus, Jawariah mencampurnya dengan kemiri.

Ketika saya menyaksikan proses memasak air nira itu, saya rasa ini adalah proses memasak paling sulit, karena tangan Jawariah terus mengaduk air nira dalam wajan besar dengan panas api yang membara, wangi khas aren tercium dari sana. Hampir lima jam Jawariah menghabiskan waktu untuk memasak air nira itu. Ketika air nira akan matang, Jawariah menandainya dengan menciduknya lalu dimasukkan dalam baskom berisi air, jika dalam baskom air nira itu membeku, maka itu tandanya air nira sudah siap dimasukkan dalam cimblo atau cetakan.

Sebelum dicetak, ia memberi saya sepiring busa air nira itu. Di daerah itu orang-orang menyebutnya soddi. Saya menikmati Soddi. Rasanya seperti permen karamel.

Dalam satu hari, Jawariah menghasilkan 13 biji gula merah, harganya Rp3.000 per biji. Jadi dalam sehari pendapatan Jawariah adalah Rp39.000. Sungguh angka yang sedikit jika dibandingkan dengan beratnya pekerjaan itu.

Ketika meninggalkan rumah Jawariah, saya berjanji dalam hati untuk tak pernah lagi menawar harga gula merah di pasar. (p!)

*Citizen reporter Erni Aladjai dapat dihubungi melalui email erni_aladjai@yahoo.com
sumber : http://panyingkul.com/view.php?id=1152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar